Penulis: Thomy Mirulewan
Nagekeo, NTT
Lukisan berbingkai kaca di dinding rumahku semakin lama tak terlihat ditelan sang mentari yang kian tenggelam, pertanda malam akan tiba setelah sinar mentari mulai menghilang dibalik langit yang semakin gelap.
Aku bergegas menuju ruang dimana lampu yang biasa menemani kami di malam hari berada.Tangan ini meraih sebuah lentera (pelita) buatan ibuku yang sudah lama tergantung di sudut rumah yang tidak cukup luas, satu persatu lentera (pelita) mulai kunyalakan untuk menjadi pemandu kami didalam rumah. Maklum saja di Desaku sampai aku berumur 36 tahun belum bermimpi untuk menikmati indahnya malam diterangi lampu jalan yang bersumber dari PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang di kampung disebut dengan nama idaman “tante LIS” (Listrik) yang sampai saat ini belum kunjung tiba.
Suara jangkrik mulai bersahutan dimana-mana seakan membuat diriku teringat akan masa kecil yang ku lalui tanpamu tante LIS. Alunan suara jangkrik itu membuat aku mulai teringat tape compo milik bapak yang hampir setiap hari dibunyikan jika ada baterai ABC. Tape itu mulai kudekap didada menuju ruangan yang selama ini menjadi tempat bercengkrama kami semasa kecil.
“Ghau (kau) ambil tape bapak dulu, dengan nada khas Malaby suara bapaku memecah kesunyian, ehh kita sebentar lagi Natal kah, iya bapa sahutku, coba setel lagu itu yang bapa biasa suka dengar, kata bapaku. Oh iya sudah ku ingat lagu apa yang bapak maksud dan tidak lain adalah lagu natal yang berjudul “jauh di dusun kecil”.
Tombol play mulai kutekan dan suara merdu lantunan lagu yang sudah tidak asing lagi bagiku itu mulai terdengar.
“jauh di dusun yang kecil, disitu rumahku, lama sudah kutinggalkan aku rindu, tahun-tahun telah, berlalu menambah rinduku, nantikan kedatanganku dusunku, kunyalakan lilin-lilin, kunyalakan lenteraku, kenangan masa kecilku dusunku”, lagu yang dinyanyikan oleh Victor Hutabarat ini mulai memecahkan kesunyian di malam itu, dalam gelap tak terlihat bapa mulai mengusap dahi yang sudah mulai mengerut termakan usia.
Syair lagu ini telah membawa kami ke malam yang sudah semakin larut tetapi cahaya sinar lampu lentera itu masih belum padam karena masih ada minyak tanah .
Maklum saja di Desaku sejak aku lahir pada 36 tahun silam hingga saat ini belum ada perhatian dari pemerintah dengan mendatangkan program penerangan dari PT. PLN (Persero) ke desa kami.
Dengan nada lesu bapa bertanya “eihh” engkau di ibu Kota Provinsi tidak dengar kah, kapan Tante LIS sampe di Kampung kita”,tanya bapakku.
Mumpung saya baru dari ibu Kota Provinsi NTT yakni Kota Kupang dan kemungkinan besar dalam benak bapakku pasti bisa ada jawaban yang membuat dirinya bisa Bahagia jika aku menjawab pertanyaan itu, tetapi apa daya tangan tak sampai, aku pun menjawab, “Bapa ee, Tante LIS sampai sekarang belum ada khabar, kayaknya dia sudah lupa Desa Kita”, jawabku.
Adalah Desa Tedamude, Kecamatan Aesesa Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Disini 36 tahun lalu aku dilahirkan yaitu tepat pada tanggal 25 bulan November tahun 1988. Hari-hari di masa kecil, ku lalui dan tumbuh besar di Desa ini bersama ke 3 saudara-saudaraku tanpa menikmati listrik.
Sejak mulai beranjak SD hingga aku melanjutkan studi ke SMP dan SMA di kota Kecamatan, Jangankan Listrik sebagai penerang, akses jalan saja untuk ke Kampung (Desa) kami sampai dengan saat ini belum ada, janji manis para Politisi sejak Kabupaten kami masih bergabung dengan kabupaten induk yakni kabupaten Ngada sampai kini menjadi daerah Otonom Baru atau kabupaten sendiri hasil pemekaran dari Kabupaten Ngada, Desa kami belum terjawab sarana prasarana tersebut.
Sepenggal cerita ini adalah sebuah kisah nestapa yang dialami langsung dan masih menyelimuti hati dan sanubari masyarakat di kampung/Desa sahabatku yang ku kenal saat bertugas Liputan di Kota Mbay, Ibu Kota Kabupaten Nagekeo beberapa waktu lalu yaitu tepatnya pada bulan maret 2024.
Berawal dari perkenalan kami di sebuah rumah makan, dia pun bercerita tentang keadaan di kampungnya.
Rasa penasaran dan naluri jurnalistik mulai muncul dan semakin kukejar dengan berbagai pertanyaan dan mulai cerita sejak kecil hingga kini ia telah menamatkan pendidikannya hingga meraih gelar sarjana Strata dua (S2) di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Kupang.
Untuk memastikan kondisi desa ini dia pun mengajak saya untuk berkunjung dan melihat langsung kondisi Desa itu.
Ajakan itu mulai saya mengiakan dan kami pun merencanakan kunjungan ke Desa Tedamude yang berjarak puluhan kilometer dari Kota Mbay, Ibu Kota Kabupaten Nagekeo.
“Ayo pak wartawan mari kita lihat kampung saya, di sana nanti pak wartawan bisa melihat langsung bagaimana masyarakat kami yang hidup di jaman digital masih belum tersentuh listrik”, kata Rembo nama yang lebih dikenal di kampung itu.
Ajakan itupun aku sanggupi dengan catatan aku minta untuk kita bermalam di kampung itu.
“Oke boleh kesana tapi harus bermalam”, kataku.
Rasa penasaran mulai muncul di benakku, apa benar di usia Kemerdekaan RI yang mencapai 79 tahun merdeka ini masih ada warga Negara yang belum tersentuh listrik dari Pemerintah? Pertanyaan ini seakan membuat aku semakin penasaran untuk mengunjungi Desa tempat tinggal sahabatku ini.
Dengan berboncengan motor berdua, perjalanan kami dari kota Nagekeo menuju Desa ini lumayan jauh sekitar 2 sampai 3 jam perjalan. Diperjalanan banyak pepohonan rimbun yang kami lewati hutan rimba serta pohon kemiri, jambu mete, kopi kelapa dan Bambu yang begitu banyak disepanjang jalan. Setelah beberapa jam perjalanan akhirnya kami pun tiba di desa itu dan luar biasa mendapat sambutan hangat dari semua keluarga.
“Bapa wartawan inilah kampung kami, ini bapa dan mama serta adik-adik saya”, sahut Rembo kepada saya, sambil bersalaman dengan semua keluarga yang hadir.
Rasa Lelah saat berkendara menuju Desa ini terasa hilang semuanya begitu melihat pemandangan desa yang masih asli, tumbuhan pohon kemiri sejauh mata memandang dan suara ayam kampung terdengar dimana-mana.
Betapa tidak, mulai dari kota Kecamatan Aesesa, perjalanan kami mulai terganggu dengan jalan batu dan tanah belum lagi jalan itu berlobang akibat dari kikisan air disaat musim hujan.
Tiba di Desa Tedamude
“mari masuk pak”, ajak orang tua Rembo untuk masuk dalam rumah yang semi permanen berbalut anyaman bambu khas dari Nagekeo.
Sore itu Susana terasa indah, mentari mulai tenggelam, Segelas Kopi arabika panas asli Bajawa mulai muncul dari balik pintu. Aroma kopi itu membuat saya seakan berada di kota tempat tongkrongan orang untuk menikmati kopi asli Bajawa.
“Ayo minum pak wartawan, ini kopi asli kami buat sendiri, terima kasih bapa”,sambut aku.
“huurrr eenaakk…luar biasa bapa kopinya, sambil minum kta cerita ya bapa, ok, jawab bapak Rembo. Maklum di Flores, NTT kopi arabika asal Bajawa, Ngada sudah memiliki trend dan banyak dicari oleh para penikmat kopi di Indonesia dan kini saya juga bisa ikut merasakan langsung di Desa ini.
Dibalut kain tenunan asli Mbay dengan baju kaos dan selendang, lelaki paruh baya itu mulai bercerita bagaimana kehidupan masyarakat di Desa Tedamude sejak ia lahir hingga usia tua ini, namun cerita ini terpaksa dilanjutkan oleh anaknya Rembo, maklum usai sudah tua kami sulit berkomunikasi.
Karena kami kesulitan berkomunikasi langsung, cerita ini pun diambil alih oleh anaknya yang tidak lain adalah teman yang baru kukenal di Kota Mbay.
“seperti cerita saya kemarin waktu kita di rumah makan itu pak wartawan, dan terbukti to, apa yang dilihat tidak beda dengan cerita saya kan”,ucap Rembo yang duduk bersilah bertiga dihadapan lampu pelita dalam ruangan itu. Karena pernah menjabat sebagai ketua RT di Kampung Mulu Malabay, Desa Tedamude, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, rembo sangat memahami betul kondisi kampungnya itu.
Desa yang berpenduduk sekitar 500 jiwa atau 200 kepala keluarga ini memiliki potensi alam yang sangat luar biasa. Hampir seluruh masyarakat di Desa ini memiliki mata pencaharian sebagai petani dengan lahan perkebunan di daerah itu.
“disini semua warga pekerjaannya sebagai petani, yang kerjanya bersihkan ladang kopi, kakao dan kemiri termasuk petani ladang saat musim hujan”,kata rembo.
Dengan hasil perkebunan yang lumayan bagus, peralihan hidup warga di Desa ini dari LENTERA ke Listrik mulai Nampak, kini penerangan di Desa ini mulai menggunakan mesin Diesel (Generator) dan tenaga surya (PLTS).
“kebetulan kita disini masyarakat saat panen kadang hasil perkebunan lumayan jadi bisa beli solar sel (tenaga surya) dan mesin diesel kapasitas kecil untuk kebutuhan malam saja”, cerita Rembo.
Cerita kamipun mulai berakhir setelah lampu lentera (pelita) yang sejak jam enam sore dinyalakan mulai meredup akibat kehabisan minyak tanah, maklum untuk mendapatkan minyak tanah satu liter saja warga di Desa ini harus menempuh perjalanan puluhan kilometer.
“pak kita terpaksa kalau mau lanjut ceritera harus gelap-gelap karena minyak tanah habis dan belum beli”,ujar Rembo sambil memohon maaf.
Karena harus kembali ke kota Mbay besok pagi, kami memutuskan untuk beristirahat malam tanpa nyala lampu listrik dengan janji masalah pelayanan listrik dari Pemerintah kepada masyarakat Desa yang belum terlayani ini akan saya teruskan ke pihak PLN nanti.
Kata PLN Terkait Penyediaan Listrik Bagi Masyarakat Desa
Listrik pada umumnya adalah salah satu tenaga elektro yang sangat dibutuhkan pada kehidupan manusia pada saat ini. Dengan adanya tenaga listrik, banyak sekali pekerjaan manusia yang terbantu. Tidak dapat dipungkiri bahwa barang elektronik sudah mendominasi kehidupan manusia dan juga menjadikannya sebagai kebutuhan hidup.
Tetapi, pernahkah Anda berpikir jika di tempat Anda belum terjangkau aliran listrik? Tentunya jika kebutuhan listrik tidak terpenuhi, maka aktivitas sehari-hari akan terhambat. Di Indonesia sendiri, terdapat sejumlah daerah yang desanya belum terjangkau aliran listrik, yaitu di NTT.
Data PT. PLN (Persero) tahun 2023 menunjukan, masih terdapat 75.414 rumah warga di Nusa Tenggara Timur belum teraliri listrik dari PT PLN (Persero). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat ini, PLN Unit Induk Wilayah NTT pun terus berupaya agar rumah-rumah warga itu segera tersambung dengan jaringan listrik.
General Manager PT.PLN (Persero) Nusa Tenggara melalui Hubungan masyarakat (Humas) PLN UIP Nusra Agrady Aryatama mengatakan, dari jumlah desa di NTT sebanyak 3.353 masih terdapat 352 desa yang belum teraliri listrik dari PT. PLN.
“di NTT ada 3.353 desa, desa yang sudah berlistrik sebanyak 3.001, sisanya 352 desa belum berlistrik”,ujar Grady saat dihubungi pada senin, 04/11/2024.
Grady menjelaskan, desa yang masih gelap gulita, akan dilistriki secara bertahap yang didahului dengan pembangunan infrastruktur kelistrikan, yang salah satu tujuannya mewujudkan energi berkeadilan bagi seluruh daerah.
“PLN terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat yang belum terlayani hingga saat ini dengan tetap membangun infrastruktur kelistrikan seperti saat ini ada pembangunan sejumlah PLTP di pulau Flores dengan harapan semua desa yang belum terlayani akan dibantu dengan aliran dari PLTP yang sedang dibangun ini”,kata Grady.
Untuk melayani masyarakat yang masih tidur dalam kegelapan ini lanjut Grady,
“salah satunya adalah pemasangan PLTD di daerah daerah terpencil termasuk di daerah Flores, tapi semua akan berubah jika PLTP sudah dibangun, terutama di flores, Karena flores dan beberapa pulau disekitarnya masuk ring of fire, yang artinya memiliki potensi panas bumi”,jelas Grady.
PLTP, selain menjadi energi yang ramah lingkungan seperti PLTS dan PLTA di flores khususnya dapat mendorong kemandirian mandiri daerah tidak seperti PLTD yang harus dikirim dari daerah lain.
Sehingga keandalan sistem jadi lebih terjaga tidak terganggu oleh cuaca (kemungkinan pengiriman BBM terlambat) bahkan sampai dengan regulasi terkait harga BBM hal ini yang sedang dilakukan oleh PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat di Indonesia termasuk di NTT.
Karena itu sangat dibutuhkan peran serta dan dukungan dari seluruh masyarakat terutama di daerah yang kini tengah menjadi lokasi pembangunan PLTP seperti di Flores dan lainnya, agar apa yang menjadi keluhan masyarakat terkait masalah listrik dapat teratasi dengan sistem kelistrikan yang bersumber dari PLTP.
Editor: Redaktur TVRINews