
Sopir PPPK RS Larantuka Lalai, Jasad Pasien Tertahan
Penulis: Ama Boro Huko
TVRINews, Flores Timur
Rumah Sakit Umum dr. Hendrikus Fernandez Larantuka, Kabupaten Flores Timur, kembali menjadi sorotan publik.
Seorang sopir yang berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dilaporkan lalai menjalankan tugas hingga menyebabkan jenazah pasien tertahan berjam-jam di kamar mayat.
Kasus ini memicu kritik luas terhadap manajemen rumah sakit, termasuk terkait kesiapan sarana prasarana dan ketersediaan tenaga medis.
Sopir PPPK Lalai, Jenazah Tak Kunjung Diantar
Plt Direktur RSUD Hendrikus Fernandez Larantuka, Gregorius Bato Koten, membenarkan adanya kelalaian sopir yang bertugas mengantar jenazah.
Ia menegaskan pihak manajemen telah memberikan tindakan pembinaan internal agar kejadian serupa tidak terulang.
"Mulai sekarang, empat sopir yang bertugas tidak boleh standby dari rumah. Mereka wajib berada di rumah sakit. Jam kerja hanya delapan jam, jauh lebih ringan dibanding tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat,” ujar Gregorius kepada TVRINews, Jumat, 12 Desember 2025.
Menurutnya, sopir PPPK justru memiliki beban kerja yang relatif ringan karena hanya mengantar pasien atau jenazah sesuai jadwal, bahkan memperoleh tunjangan perjalanan dinas.
“Untung mereka sudah PPPK. Kalau tidak, saya sudah pecat. Menggeser PPPK juga tidak mudah. Ini menjadi tantangan manajemen untuk mengubah perilaku dan kedisiplinan mereka,” tegasnya.
Keluhan Publik: Fasilitas Minim dan Kekosongan Dokter Anastesi
Selain masalah sopir, publik Flores Timur turut menyoroti terbatasnya sarana prasarana rumah sakit, termasuk kerusakan toilet, ruang rawat yang bocor, dan beberapa hari kekosongan dokter anastesi.
Gregorius menjelaskan bahwa kekosongan dokter hanya terjadi sesaat karena pergantian stase bulanan.
"Untuk dokter anastesi tetap ada, hanya kosong beberapa hari karena pergantian stase,” katanya.
Fasilitas Banyak Rusak, Anggaran Terbatas
Gregorius mengakui kondisi sarana prasarana rumah sakit masih jauh dari ideal. Meski berstatus BLUD dengan pendapatan sekitar Rp25 miliar, sebagian besar dana habis untuk kebutuhan operasional.
Dana tersebut digunakan untuk pembelian obat, bahan habis pakai, makanan pasien, hingga kebutuhan oksigen. Total pengeluaran mencapai Rp13–14 miliar.
“Operasional besar, 40 persen untuk jasa tenaga medis, 60 persen untuk operasional. Uang DAU hampir tidak ada. Rehabilitasi fasilitas harus dilakukan bertahap,” ungkapnya.
Perbaikan Bertahap dan Rencana Pengembangan IGD
Meski menghadapi berbagai keterbatasan, pihak rumah sakit menegaskan upaya perbaikan terus dilakukan.
Beberapa program peningkatan pelayanan telah direncanakan, termasuk perluasan Instalasi Gawat Darurat (IGD) melalui bantuan yayasan internasional, serta pembangunan poliklinik baru.
“Harapan kami, pembangunan poliklinik bisa sampai atap pada 31 Desember agar dapat dilanjutkan pada 2026 untuk penyelesaiannya,” tambah Gregorius.
Komitmen Peningkatan Pelayanan
Gregorius menegaskan bahwa meski banyak kekurangan, manajemen rumah sakit berkomitmen memberikan pelayanan terbaik.
Ia berharap pembenahan sarana prasarana dan kedisiplinan SDM dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap layanan RSUD Hendrikus Fernandez Larantuka.
Editor: Redaksi TVRINews
