Penulis: Jasmine Rofita
TVRINews, Jakarta
Kebudayaan dan perkembangan zaman ibarat dua sisi mata uang yang saling berkait.
Perubahan zaman yang disebabkan faktor apapun akan berdampak pada perkembangan atau eksistensi sebuah kebudayaan, tak terkecuali kebudayaan di Indonesia.
Kondisi inilah yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Dunia mengalami perubahan yang cepat, khususnya revolusi di bidang teknologi komunikasi dan informasi.
Suka ataupun tidak, kebudayaan, berserta rumpun ilmu di dalamnya, berupaya untuk menyesuaikan perubahan yang terjadi.
Situasi yang berubah ini menimbulkan pengaruh terhadap cara arkeologi berkomunikasi dengan publik.
Kondisi ini kemudian menyebabkan lahirnya arkeologi publik yang memusatkan perhatian kajian ilmu untuk mengenali suatu objek serta mengkomunikasikan hasil penelitian arkeologi untuk masyarakat.
Dengan pendekatan ini, arkeologi tidak lagi berada di menara gading yang sulit untuk disentuh, melainkan mulai melirik pada aspek komunikasi populer agar hasil penelitian mulai dikenal oleh masyarakat.
Munculnya pandangan terkait arkeologi publik adalah jawaban terhadap pesatnya perkembangan informasi dalam ranah kebudayaan.
Arkeologi dengan ketiadaan partisipasi masyarakat adalah hal yang sia-sia. Sumber informasi terkait keberadaan sebuah tinggalan arkeologi tidak terlepas dari peran serta masyarakat dalam menyampaikan informasi tersebut kepada instansi terkait. Itulah sebabnya, sumber daya arkeologi adalah kepunyaan, dan juga untuk publik.
Media sosial dapat menjadi jawaban untuk melanjutkan pandangan terkait arkeologi publik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sosial media memegang peran penting dalam arus komunikasi pada saat ini, terlebih generasi sekarang menyukai informasi dalam bentuk visual sebagai alih wahana media informasi dibandingkan dengan membaca buku.
Daya ingin tahu mereka yang besar dapat didapatkan dengan akses yang mudah dengan menggunakan ponsel.
Dalam kerangka pikir arkeologi publik, media sosial dapat dimanfaatkan dalam melakukan pelestarian berbagai tinggalan arkeologi.
Dengan memilih topik yang ringan nan menarik, tinggalan arkeologi, atau yang jamak dikenal sebagai warisan prasejarah, suatu informasi dapat dengan mudah disampaikan dan dimengerti oleh masyarakat.
Bagaimanapun, publikasi penting bukan hanya sebagai inventarisasi maupun data sejarah belaka, tetapi juga untuk menjaga agar pengetahuan mengenai sejarah dari situs cagar budaya dan nilai-nilai luhur tidak hilang dari ingatan kolektif masyarakat saat ini.
Oleh karena itu, salah satu strategi yang dapat dilakukan ialah memanfaatkan sosial media untuk memberitahu informasi temuan-temuan arkeologi yang ada.
Beberapa contoh penggunaan sosial media sebagai media sumber informasi sejarah dan arkeologi, yaitu seperti Neo Historia.
Konsep yang ditawarkan adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang peristiwa-peristiwa sejarah menggunakan tata bahasa yang ringan dan mudah dipahami oleh orang awam melalui Instagram, Twitter, dan sosial media lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa media yang memberikan informasi dalam segmen arkeologi menggunakan pendekatan yang bukan hanya dapat dipahami oleh orang awam, tetapi juga menyenangkan untuk dibaca lebih lanjut.
Beberapa contoh yang telah eksis adalah komunitas Indo.Archaeology serta Arkeovlog di Instagram yang memberikan informasi situs cagar budaya dan memperkenalkan arkeologi lebih dalam dengan bentuk visual seperti video maupun foto.
Pemanfaatan media sosial bukan hanya membantu untuk memberikan pemahaman masyarakat terhadap cagar budaya dan informasi-informasi dalam bidang kebudayaan, melainkan juga membantu situs yang diangkat lebih dapat dikenal oleh masyarakat.
Hal tersebut tentu termasuk salah satu langkah awal untuk melestarikan sebuah warisan cagar budaya agar tidak terlupakan.
R.S. Dickens dan C.E Hill dalam Mayer-Oakes (1990) terkait pengelolaan sumber daya budaya menyebutkan, “Kita haruslah melestarikan sumber daya itu jika kita ingin mengambil manfaat darinya, kita harus mempelajari sumber daya itu jika ingin memahami manfaat yang dapat kita peroleh, dan kita harus menerjemahkan pengetahuan yang telah diperoleh itu kepada masyarakat. Jadi, dari masyarakat tersebutlah proses ini berawal, dan kepada mereka juga semua itu harus diserahkan”.
Pandangan ini lebih dari cukup untuk menggambarkan pentingnya memberikan akses informasi secara lebih luas kepada masyarakat terkait upaya warisan budaya.
Editor: Redaktur TVRINews
